Kamis, 25 September 2014

Djombang City

                    Senja Jingga. Sinaran mentari masih menamopakkan wajahnya setengah dari seperempat indah wajahnya .
aku menginkinkan tentang sesuatu hal. Hmm…yaps,aku langsung melakukan tentang sesuatu hal itu.working around kota Jombang. Sedikit cerita dari aku about Jombang city.
Kota Jombang, seperti lazimnya kota-kota lain, punya motto pula, yaitu Jombang Beriman. Sesuai dengan mottonya, kota ini memang terlihat sarat nuansa agamisnya. Di beberapa tempat terdapat pesantren; tempat menggali ilmu-ilmu agama. Ada pula sejumlah majelis perkumpulan tempat berkumpul kaum santri untuk sekadar mendiskusikan berbagai persoalan. Di kota ini juga, sosok-sosok penting dalam organisasi NU, seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Hasbulloh, dan bahkan Gus Dur, dilahirkan. Ada juga cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid yang juga lahir dan besar di Jombang. Mereka semua adalah generasi bangsa yang lahir dari alam pesantren.Kumulai perjalanan mengasyikkan ini dari pusat kota Jombang. Tepatnya di bawah pepohonan teduh yang tidak jauh dari alun-alun kota. Dengan landscape yang memanjakan mata, tampak agak jauh, sebuah masjid agung peninggalan para leluhur kota Jombang. Di sebelah selatan alun-alun, ada stasiun kota. Stasiun ini menjadi begitu sentral di kota ini. Apa sebab? Melalui stasiun inilah, zaman dulu, sebelum ada transportasi komersial, sarana perdagangan dari berbagai kota bisa sampai di sini. Terutama kereta api yang membawa aneka barang dagangan dari kota Surabaya di timur. Dan kota Semarang di Jawa Tengah.Dari arah stasiun kota, kuarahkan langkah kakiku ke selatan. Tempat yang akan kuhampiri adalah Bareng . Di kawasan ini ada sebuah candi, namanya Candi Arimbi. Letak candi ini berada di Desa  Pulosari Kecamatan Bareng, 8 km dari Mojowarno. Candi ini, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari superioritas Kerajaan Majapahit. Sebab dulu, di masa kejayaannya, cakupan Kerajaan Majapahit memang luas. Salah satu wilayah kekuasaannya, ya daerah Jombang ini. Menurut pitutur rakyat setempat, daerah Bareng menjadi gate atau gerbang masuk bagian selatan di kawasan Jombang menuju pusat kerajaan yang berada di Trowulan (kotaraja Majapahit). Candi Arimbi yang kusinggahi ini masih terlihat cukup kokoh. Dengan tinggi sekitar 12 meter, lebar 9 meter, dan panjang 13 meter, candi pada zaman purbakala ini seolah menyampaikan pesan akan keagungan Kerajaan Majapahit. Dan, keagungan yang terwakili oleh kokohnya candi seperti tak pernah mati oleh zaman. Beberapa bebatuan dari candi tampak berjatuhan. Puing-puing bebatuan tersebut seakan mengabarkan pada aku bahwa ada sebuah peristiwa besar yang telah terjadi di masa lampau. Peristiwa tersebut tentu ada kaitan erat dengan kehancuran Kerajaan Majapahit pada sekitar abad 15.  Meski, saya meyakini pula, adanya bencana alam juga bisa saja memengaruhi kondisi fisik candi. Konon, jasad dari Ratu Tri Bhuana Tunggadewi, ibunda Raja Hayam Wuruk, dikremasi di candi ini.
Angin semilir lembut berirama di sekitar candi memanjakanku dan sang istri. Ranting-ranting dan dedaunan pohon bertumbangan satu satu ke tanah. Setelah sejenak melihat sisi-sisi lain Candi Arimbi, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mengunjungi situs candi sudah. Sekarang gantian, aku tapaki jalanan menuju Tebuireng. Secara geografis, wilayah ini ada di sebelah utara Kecamatan Bareng.  Berada di pinggiran jalan raya Jombang-Pare (Kediri) pesantren ini lumayan strategis. Sebab berada di kawasan transportasi yang menghubungkan dua kota tersebut.
Di Tebuireng, ada sebuah pesantren klasik yang sangat terkenal. Namanya pesantren Tebuireng. Pesantren ini didirikan pada 1899. Seorang ulama muda ketika itu, KH Hasyim Asyari, memulai langkah-langkah syiar agama Islam dengan membangun masjid, rumah kecil, dan pemondokan. Sambil makan siang, aku menikmati setiap sudut pesantren ini. Di beberapa tempat, masih ada kamar-kamar santri yang bentuk bangunannya masih mempertahankan keasliannya. Dengan beratapkan bambu, model jendela yang tinggi dan berdinding tebal, salah satu bangunan ini lebih mencirikan adanya asimilasi budaya Jawa, Islam, dan Eropa. Oh ya, di dalam areal pesantren Tebuireng, ada makam KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Aku dan sang istri tak lupa turut serta dengan kaum santri lain dengan mengkhusyukkan diri larut dalam doa-doa kepada almarhum dan ahli kubur yang lain. Selesai di pesantren legendaris ini, kualihkan tujuanku ke daerah lain. Setelah berada di pintu luar pesantren, tak jauh dari itu, tampak bangunan kokoh yang masih berdiri. Yaitu Pabrik Gula Tjoekir. Hermawan Sulistiyo, dalam bukunya (halaman 106) yang berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, berkisah bahwa pada tahun 1884 PG Tjoekir ini dibangun oleh NV Kooy & Coster van Voorhout. Sejak itu, tumbuhlah kekuatan buruh. Banyak rakyat jelata yang direkrut menjadi tenaga kasar di pabrik. Sebagian besar mereka hanya diberi upah yang kecil. Namun, berbanding terbalik dengan mereka, taraf hidup para pejabat desa malah hedonis. Sebab secara politis, mereka harus menyediakan tenaga kerja sebanyak mungkin. Impact-nya, mereka mendapatkan jatah gula, beras, dan hasil bumi yang lain. Di kemudian hari, para buruh yang bekerja di PG Tjoekir, mendapatkan pengaruh dari luar. Mereka didoktrin oleh paham sosialis. Sederhananya, mereka adalah kaum buruh yang patut untuk memperoleh hak-hak buruh. Namun, semua harus didapat melalui usaha-usaha yang tampak bersifat radikal. Usaha-usaha ini lalu berkembang menjadi aktivitas makar terhadap kaum elit perusahaan.
Perjalanan dari Tebuireng kini menuju utara. Sepanjang jalan yang kulewati, banyak rumah penduduk yang bentuk pagar depan rumahnya ber-stylish-kan bentuk candi. Pagar tersebut mempunyai gerbang kecil yang masing-masing berundan. Sekian menit di perjalanan, tibalah sekarang di desa Tambakberas.
Tambakberas, berada di persimpangan jalan raya antara Jombang kota menuju utara, yaitu Lamongan. Wilayah ini, konon, masih berupa alas liar pada awal abad 19. Berdasar beberapa literatur yang pernah kubaca, usai perang Diponegoro pada 1830, salah seorang muridnya yang bernama Kyai Abdus Salam, melarikan diri ke timur. Ia lalu membabat alas di wilayah Tambakberas.  Setelahnya, ia mendirikan pesantren yang terletak di sisi timur sungai Tambakberas. Hingga tulisan ini ditulis, sisa-sisa bangunan pesantren awal ini masih ada. Meski, sudah termakan oleh zaman. masjid peninggalan KH Abdus Salam, pendiri pesantren pertama di Jombang pada abad 19. Tak jauh dari pesantren Tambakberas, di sebelah barat, ada sungai kecil. Di sungai itu, tampak sebuah dam air yang masih berfungsi dengan baik. Ketika duduk di tepian sungai, aku bertemu dengan salah seorang warga setempat. Sebut saja namanya Kang Munir. Ia menuturkan, bahwa menurut cerita yang turun temurun, di lokasi dam air inilah, zaman dulu, Ronggolawe mati terbunuh. Ia tak kuasa berperang melawan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Damarwulan. Ia menambahkan juga, setelah mati terbunuh, pusakanya sempat hilang di sungai. Dan bahkan di kemudian hari berubah menjadi ular raksasa. Sungai ini memang terlihat kecil ukurannya. Namun, kalau mengikuti alurnya hingga jauh ke utara, maka bertemulah dengan sungai yang lebih besar, yaitu Berantas.
Berbicara tentang sungai Berantas, aku akan mengajak ke memori masa silam, yaitu dekade 1960-an. Ketika itu, suhu politik Indonesia memanas. Tentu ini dipicu oleh maraknya aksi penentangan terhadap PKI. Berjuta-juta orang yang dituduh dan dianggap anggota PKI diseret di tanah lapang. Mereka lalu disembelih. Setiap kepala yang telah disembelih, dibuang di sungai Berantas. Maka merahlah permukaan airnya. Sebuah potret bangsa yang amat suram. Di pinggiran jalan raya, dekat sungai pula, ada bekas sebuah rel. Kang Munir lagi-lagi mengisahkan, rel ini adalah jalan utama bagi Trem. Alat transportasi ini memang sedang populer pada zaman itu. Rute trem itu sendiri menghubungkan Pasar Babat di Lamongan hingga sebuah tempat di Jombang kota yang dulu namanya Normalan. Sisa-sisa rel Trem kini hanya tinggal cerita. Saat itu, istilah Trem tidak biasa bagi kebanyakan warga. Mereka menyebutnya dengan sepur gujes. Sebab dari kejauhan terdengar suara jes….jes..jes…(hihihi,,,). 
Kalau kita ikuti rel Trem ini ke selatan, sampailah kita di Denanyar. Sebuah kawasan yang juga relijius. Di sini ada pesantren Denanyar yang dibangun sekitar 1917 oleh KH Bisyri Syansuri. Secara genealogis, antara pesantren Tambakberas-Denanyar-Tebuireng masih satu ikatan famili. Pesantren Tambakberas didirikan oleh KH Abd Wahab Hasbulloh. Beliau masih punya hubungan sepupu dengan KH Hasyim Asyari, pendiri Pesantren Tebuireng maupun KH Bisyri Syansuri, pendiri pesantren Denanyar. Beberapa meter dari ruas jalan dekat pesantren Denanyar, ada sebuah situs bangunan kuno. Dulu, bangunan ini adalah halte Trem. Sekarang hanya tinggal puing-puingnya saja. Arah barat dari lokasi tempat saya berdiri, yaitu desa Tunggorono. Pada zaman Majapahit, Tunggorono menjadi gerbang masuk sebelah barat menuju pusat Kerajaan Majapahit. Sekaligus menjadi pagar betis dalam usaha mempertahankan keraton dari serangan musuh luar.
Jombang…di malam hari, menawarkan landscape kota yang berbeda. Sungguh perjalanan ini terus mendesakku ke dalam ruang waktu ketika kota ini masih dijajah oleh kaum imperialisme.
                                                              
                                                                .Djombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar