Senja Jingga. Sinaran mentari masih
menamopakkan wajahnya setengah dari seperempat indah wajahnya .
aku
menginkinkan tentang sesuatu hal. Hmm…yaps,aku langsung melakukan tentang
sesuatu hal itu.working around kota Jombang. Sedikit cerita dari aku about
Jombang city.
Kota Jombang, seperti lazimnya
kota-kota lain, punya motto pula, yaitu Jombang Beriman. Sesuai dengan
mottonya, kota ini memang terlihat sarat nuansa agamisnya. Di beberapa tempat
terdapat pesantren; tempat menggali ilmu-ilmu agama. Ada pula sejumlah majelis
perkumpulan tempat berkumpul kaum santri untuk sekadar mendiskusikan berbagai
persoalan. Di kota ini juga, sosok-sosok penting dalam organisasi NU, seperti
KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Hasbulloh, dan bahkan Gus
Dur, dilahirkan. Ada juga cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid yang juga lahir
dan besar di Jombang. Mereka semua adalah generasi bangsa yang lahir dari alam
pesantren.Kumulai perjalanan mengasyikkan ini dari pusat kota Jombang. Tepatnya
di bawah pepohonan teduh yang tidak jauh dari alun-alun kota. Dengan landscape
yang memanjakan mata, tampak agak jauh, sebuah masjid agung peninggalan para
leluhur kota Jombang. Di sebelah selatan alun-alun, ada stasiun kota. Stasiun
ini menjadi begitu sentral di kota ini. Apa sebab? Melalui stasiun inilah,
zaman dulu, sebelum ada transportasi komersial, sarana perdagangan dari
berbagai kota bisa sampai di sini. Terutama kereta api yang membawa aneka
barang dagangan dari kota Surabaya di timur. Dan kota Semarang di Jawa Tengah.Dari
arah stasiun kota, kuarahkan langkah kakiku ke selatan. Tempat yang akan
kuhampiri adalah Bareng . Di kawasan ini ada sebuah candi, namanya Candi
Arimbi. Letak candi ini berada di Desa Pulosari Kecamatan Bareng, 8 km
dari Mojowarno. Candi ini, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
superioritas Kerajaan Majapahit. Sebab dulu, di masa kejayaannya, cakupan
Kerajaan Majapahit memang luas. Salah satu wilayah kekuasaannya, ya daerah
Jombang ini. Menurut pitutur rakyat setempat, daerah Bareng menjadi gate
atau gerbang masuk bagian selatan di kawasan Jombang menuju pusat kerajaan yang
berada di Trowulan (kotaraja Majapahit). Candi Arimbi yang kusinggahi ini masih
terlihat cukup kokoh. Dengan tinggi sekitar 12 meter, lebar 9 meter, dan
panjang 13 meter, candi pada zaman purbakala ini seolah menyampaikan pesan akan
keagungan Kerajaan Majapahit. Dan, keagungan yang terwakili oleh kokohnya candi
seperti tak pernah mati oleh zaman. Beberapa bebatuan dari candi tampak
berjatuhan. Puing-puing bebatuan tersebut seakan mengabarkan pada aku bahwa ada
sebuah peristiwa besar yang telah terjadi di masa lampau. Peristiwa tersebut
tentu ada kaitan erat dengan kehancuran Kerajaan Majapahit pada sekitar abad
15. Meski, saya meyakini pula, adanya bencana alam juga bisa saja
memengaruhi kondisi fisik candi. Konon, jasad dari Ratu Tri Bhuana Tunggadewi,
ibunda Raja Hayam Wuruk, dikremasi di candi ini.
Angin semilir lembut berirama di
sekitar candi memanjakanku dan sang istri. Ranting-ranting dan dedaunan pohon
bertumbangan satu satu ke tanah. Setelah sejenak melihat sisi-sisi lain Candi
Arimbi, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mengunjungi situs candi sudah.
Sekarang gantian, aku tapaki jalanan menuju Tebuireng. Secara geografis,
wilayah ini ada di sebelah utara Kecamatan Bareng. Berada di pinggiran
jalan raya Jombang-Pare (Kediri) pesantren ini lumayan strategis. Sebab berada
di kawasan transportasi yang menghubungkan dua kota tersebut.
Di Tebuireng, ada sebuah pesantren
klasik yang sangat terkenal. Namanya pesantren Tebuireng. Pesantren ini
didirikan pada 1899. Seorang ulama muda ketika itu, KH Hasyim Asyari, memulai
langkah-langkah syiar agama Islam dengan membangun masjid, rumah kecil, dan
pemondokan. Sambil makan siang, aku menikmati setiap sudut pesantren ini. Di
beberapa tempat, masih ada kamar-kamar santri yang bentuk bangunannya masih
mempertahankan keasliannya. Dengan beratapkan bambu, model jendela yang tinggi
dan berdinding tebal, salah satu bangunan ini lebih mencirikan adanya asimilasi
budaya Jawa, Islam, dan Eropa. Oh ya, di dalam areal pesantren Tebuireng, ada
makam KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Aku dan sang istri tak lupa turut
serta dengan kaum santri lain dengan mengkhusyukkan diri larut dalam doa-doa
kepada almarhum dan ahli kubur yang lain. Selesai di pesantren legendaris ini,
kualihkan tujuanku ke daerah lain. Setelah berada di pintu luar pesantren, tak
jauh dari itu, tampak bangunan kokoh yang masih berdiri. Yaitu Pabrik Gula
Tjoekir. Hermawan Sulistiyo, dalam bukunya (halaman 106) yang berjudul Palu
Arit di Ladang Tebu, berkisah bahwa pada tahun 1884 PG Tjoekir ini dibangun
oleh NV Kooy & Coster van Voorhout. Sejak itu, tumbuhlah kekuatan buruh.
Banyak rakyat jelata yang direkrut menjadi tenaga kasar di pabrik. Sebagian
besar mereka hanya diberi upah yang kecil. Namun, berbanding terbalik dengan
mereka, taraf hidup para pejabat desa malah hedonis. Sebab secara politis,
mereka harus menyediakan tenaga kerja sebanyak mungkin. Impact-nya,
mereka mendapatkan jatah gula, beras, dan hasil bumi yang lain. Di kemudian
hari, para buruh yang bekerja di PG Tjoekir, mendapatkan pengaruh dari luar.
Mereka didoktrin oleh paham sosialis. Sederhananya, mereka adalah kaum buruh
yang patut untuk memperoleh hak-hak buruh. Namun, semua harus didapat melalui
usaha-usaha yang tampak bersifat radikal. Usaha-usaha ini lalu berkembang menjadi
aktivitas makar terhadap kaum elit perusahaan.
Perjalanan dari Tebuireng kini
menuju utara. Sepanjang jalan yang kulewati, banyak rumah penduduk yang bentuk
pagar depan rumahnya ber-stylish-kan bentuk candi. Pagar tersebut
mempunyai gerbang kecil yang masing-masing berundan. Sekian menit di
perjalanan, tibalah sekarang di desa Tambakberas.
Tambakberas, berada di persimpangan
jalan raya antara Jombang kota menuju utara, yaitu Lamongan. Wilayah ini,
konon, masih berupa alas liar pada awal abad 19. Berdasar beberapa literatur
yang pernah kubaca, usai perang Diponegoro pada 1830, salah seorang muridnya
yang bernama Kyai Abdus Salam, melarikan diri ke timur. Ia lalu membabat alas
di wilayah Tambakberas. Setelahnya, ia mendirikan pesantren yang terletak
di sisi timur sungai Tambakberas. Hingga tulisan ini ditulis, sisa-sisa
bangunan pesantren awal ini masih ada. Meski, sudah termakan oleh zaman. masjid
peninggalan KH Abdus Salam, pendiri pesantren pertama di Jombang pada abad 19. Tak
jauh dari pesantren Tambakberas, di sebelah barat, ada sungai kecil. Di sungai
itu, tampak sebuah dam air yang masih berfungsi dengan baik. Ketika duduk di
tepian sungai, aku bertemu dengan salah seorang warga setempat. Sebut saja
namanya Kang Munir. Ia menuturkan, bahwa menurut cerita yang turun temurun, di
lokasi dam air inilah, zaman dulu, Ronggolawe mati terbunuh. Ia tak kuasa
berperang melawan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Damarwulan. Ia menambahkan
juga, setelah mati terbunuh, pusakanya sempat hilang di sungai. Dan bahkan di
kemudian hari berubah menjadi ular raksasa. Sungai ini memang terlihat kecil
ukurannya. Namun, kalau mengikuti alurnya hingga jauh ke utara, maka bertemulah
dengan sungai yang lebih besar, yaitu Berantas.
Berbicara tentang sungai Berantas,
aku akan mengajak ke memori masa silam, yaitu dekade 1960-an. Ketika itu, suhu
politik Indonesia memanas. Tentu ini dipicu oleh maraknya aksi penentangan
terhadap PKI. Berjuta-juta orang yang dituduh dan dianggap anggota PKI diseret
di tanah lapang. Mereka lalu disembelih. Setiap kepala yang telah disembelih, dibuang
di sungai Berantas. Maka merahlah permukaan airnya. Sebuah potret bangsa yang
amat suram. Di pinggiran jalan raya, dekat sungai pula, ada bekas sebuah rel.
Kang Munir lagi-lagi mengisahkan, rel ini adalah jalan utama bagi Trem. Alat
transportasi ini memang sedang populer pada zaman itu. Rute trem itu sendiri
menghubungkan Pasar Babat di Lamongan hingga sebuah tempat di Jombang kota yang
dulu namanya Normalan. Sisa-sisa rel Trem kini hanya tinggal cerita.
Saat itu, istilah Trem tidak biasa bagi kebanyakan warga. Mereka menyebutnya
dengan sepur gujes. Sebab dari kejauhan terdengar suara jes….jes..jes…(hihihi,,,).
Kalau kita ikuti rel Trem ini ke
selatan, sampailah kita di Denanyar. Sebuah kawasan yang juga relijius. Di sini
ada pesantren Denanyar yang dibangun sekitar 1917 oleh KH Bisyri Syansuri.
Secara genealogis, antara pesantren Tambakberas-Denanyar-Tebuireng masih satu
ikatan famili. Pesantren Tambakberas didirikan oleh KH Abd Wahab Hasbulloh.
Beliau masih punya hubungan sepupu dengan KH Hasyim Asyari, pendiri Pesantren
Tebuireng maupun KH Bisyri Syansuri, pendiri pesantren Denanyar. Beberapa meter
dari ruas jalan dekat pesantren Denanyar, ada sebuah situs bangunan kuno. Dulu,
bangunan ini adalah halte Trem. Sekarang hanya tinggal puing-puingnya saja. Arah
barat dari lokasi tempat saya berdiri, yaitu desa Tunggorono. Pada zaman
Majapahit, Tunggorono menjadi gerbang masuk sebelah barat menuju pusat Kerajaan
Majapahit. Sekaligus menjadi pagar betis dalam usaha mempertahankan keraton
dari serangan musuh luar.
Jombang…di malam hari, menawarkan
landscape kota yang berbeda. Sungguh perjalanan ini terus mendesakku ke dalam
ruang waktu ketika kota ini masih dijajah oleh kaum imperialisme.
.Djombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar